Aduan

Pertimbang Secara Rasional Bukan Emosional

Kad kredit adalah salah satu instrumen pembayaran yang diakui sah mengikut Akta Sistem Pembayaran 2003. Menurut Ketetapan Majlis Kesatuan Fiqh Islam Sedunia (Majma’ Fiqh Islami), kad kredit merupakan suatu bentuk penyata keterangan yang diiktiraf, diberikan oleh pengeluar kepada individu atau pihak yang diiktiraf melalui kontrak di antara keduanya. Ini memungkinkan pemilik melakukan transaksi pembelian atau perkhidmatan dari pihak yang mengiktiraf penyata keterangan tersebut tanpa perlu membayar secara tunai (segera), kerana kad kredit mengandungi jaminan pembayaran dari pihak pengeluar (Zaharudin Abd Rahman, 2003).

Dalam Islam, perhatian besar diberikan kepada isu pemilikan individu dan harta, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surah an-Nisaa’ ayat 29: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama sendiri dengan cara yang tidak benar, kecuali melalui jalan perniagaan yang dilakukan atas dasar persetujuan antara satu sama lain…” Rasulullah juga menyatakan bahwa barangsiapa yang mengambil hak pemilikan orang lain, walau hanya sejengkal tanah, maka ia akan dikalungkan di lehernya di hari kiamat, seberat tujuh lapisan bumi (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Selain itu, konsep Hifz al-Mal (menjaga harta) menekankan pentingnya memelihara dan melindungi pemilikan harta dari kerusakan dan peralihan ke tangan individu lain secara tidak sah, sesuai dengan prinsip-prinsip utama Maqasid Syariah yang menjadi teras agama.

Dalam konteks tambahan, kaedah fiqh juga menyatakan bahwa mereka yang diberikan izin untuk menguruskan harta seseorang, jika harta tersebut rusak atau hilang, wajib mengganti rugi. Namun, semua ini harus dijalankan dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syarak.

Sejak krisis di Gaza, yang disertai serangan rejim Zionis, netizen Malaysia menggunakan media sosial untuk menyatakan ketidakpuasan terhadap kekejaman tersebut. Beberapa pihak bahkan mencoba menggodam maklumat akaun perbankan seorang rakyat Israel, dengan klaim bahwa hasil godaman tersebut dijadikan sebagai sumbangan kemanusiaan untuk Gaza. Hal ini memunculkan ironi, sementara beberapa pihak mempersoalkan tindakan kecurian identiti atau phishing dari perspektif agama.

Al-Imam Syafii menegaskan bahwa seorang Muslim yang memasuki kawasan jajahan takluk kafir harbi yang menjanjikan keselamatan dan keamanan, tidak seharusnya merampas atau mencuri harta mereka. Perjanjian keselamatan dan keamanan ini harus dihormati, dan jika tidak terlaksana, hukumnya bisa berubah. Pandangan ini senada dengan Imam Haramain al-Juwaini.

Namun, jika individu kafir tersebut, yang masih terikat dengan dominasi negara harbi, mulai mengancam keselamatan dan keamanan kaum Muslimin, syarak memperbolehkan pengambilan dan perampasan harta secara fai’i (harta yang didapatkan oleh Muslimin dari pemilikan harta kafir tanpa peperangan). Ini dijelaskan dalam Nihayatul Mathlab.

Sebagai penutup, sikap provokatif rejim Zionis terhadap penduduk Gaza yang tidak bersalah menegaskan relevansi klasifikasi kafir harbi dalam fiqh klasik. Islam menilai hubungan diplomatik antara manusia tanpa memandang bangsa, warna, atau agama. Isu-isu seperti boikot dan perlawanan terhadap penjajahan Zionis harus dipertimbangkan secara rasional, bukan hanya berdasarkan emosi semata.

Dalam menyikapi tindakan rakyat Malaysia, pihak berkuasa, seperti Kementerian Komunikasi dan Digital Malaysia (KKD) serta Kementerian Dalam Negeri (KDN), perlu memantau tindakan tersebut. Pertanyaan mengenai kebenaran dan ketelusan godaman, tujuan solidariti, dan kepercayaan sumbangan kemanusiaan harus diperhatikan secara teliti.

Dalam menjalani kehidupan, setiap Muslim dihimbau untuk mendidik diri dengan pedoman dan panduan Islam, dan tidak terjerumus pada semangat yang hanya bersifat emosional semata. Pihak agamawan juga diminta untuk memahami dan merinci setiap hukum-hakam yang disampaikan, sesuai dengan tujuan utama perundangan syarak, bukan untuk mendapatkan dukungan netizen secara murahan. Semua pihak, termasuk pihak berkuasa, harus bersikap telus dalam menghadapi tindakan rakyat Malaysia, memastikan kebenaran, tujuan, dan kejelasan sumbangan kemanusiaan. Semua langkah ini sejalan dengan tuntutan agama.

Oleh Mohd Izuddin Mohd Kasim.

Penulis merupakan Calon Sarjana Pengkhususan Usul al-Fiqh, Universiti Al-Azhar.